Mendudukkan Kembali Urgensi Pertunjukan Angngaru di Pernikahan, Pelestarian Budaya atau Penyimpangan?

2 weeks ago 3
ARTICLE AD BOX

Pertunjukan angngaru dalam acara pernikahan dianggap jadi bagian dari pelestarian budaya. Benarkah demikian?

Oleh: Arya Nur Prianugraha

Dengan lantang, Fajar merapalkan syair-syair dalam bahasa daerah. Tangan kanannya memegang senjata tajam berjenis badik. Meliuk-liuk seakan mengikuti irama musik.

Seluruh mata tertuju pada laki-laki berumur 18 tahun itu. Ia mengenakan pakaian adat Bugis berwarna biru. Lengkap dengan songkok racca khas Bugis.

Sebelum mengakhiri pertunjukannya, ia meletakkan ujung badiknya ke dada sebelah kiri. Lalu tangan kirinya ia gunakan untuk menekan senjata tajam itu. Seolah memberi kesan badik tersebut benar-benar tertancap.

Sepersekian detik, Fajar kehilangan keseimbangan. Ia berusaha menyeimbangkan badan sembari memasukkan badik ke sarungnya. Tapi gagal.

Ia sempoyongan. Badik itu telah menembus dadanya.

Hari itu, Selasa 29 September 2024, di Desa Malise, Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, sekitar pukul 11.00, Fajar menghembuskan nafas terakhirnya.

Di tengah suka cita pernikahan tempat Fajar melakukan pertunjukan, kabar duka kematiannya tersiar di tempat yang sama. Ia meninggal dalam perjalanan ke fasilitas kesehatan terdekat.

Fajar meninggal setelah melakukan pertunjukan yang selama ini dianggap sebagai pelestarian budaya. Dalam budaya Makassar disebut angngaru. Dalam masyarakat Bugis disebut dengan Osong.

Namun pada praktiknya dewasa ini, masyarakat Bugis-Makassar lazim mengenalnya dengan angngaru.

“Bedanya di bahasa. Pengertiannya juga sumpah. Tapi syair beda,” kata salah seorang pekerja seni, Daeng Tika kepada fajar.co.id, Kamis (31/10/2024).

Read Entire Article