ARTICLE AD BOX
Oleh: Muhammad Nur
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Fanatisme dalam kontestasi politik sering kali memicu tindakan-tindakan irasional yang merugikan, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitar. Ketika seseorang terjebak dalam fanatisme politik, mereka cenderung menempatkan kepentingan pribadi dan kesetiaan kepada kandidat atau partai politik di atas nilai-nilai kemanusiaan dan logika. Fanatisme ini menciptakan situasi di mana perbedaan pendapat bukan lagi dianggap sebagai hal yang wajar dan sehat dalam demokrasi, melainkan sebagai ancaman yang harus dihancurkan.
Kasus-kasus kekerasan akibat fanatisme politik masih sering terjadi di Indonesia. Beberapa waktu lalu, selama Pilpres 2024, kita menyaksikan bagaimana perbedaan pilihan politik menyebabkan berbagai insiden yang merugikan. Di Madura, terjadi bentrokan fisik antar pendukung yang berujung pada kekerasan. Di Batam, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dilaporkan terjadi karena perselisihan terkait dukungan politik.
Terdapat juga kasus yang lebih mengejutkan, di mana seorang anak menganiaya orang tuanya hanya karena perbedaan pilihan calon presiden. Kemudian, Walikota di Chilpacingo, Meksiko dipenggal dan terbunuh setelah baru 6 hari menjabat. Bukan hanya itu, negara yang menjadi kiblat demokrasi negara kita yaitu Amerika. Salah satu calon Presidennya yaitu Donald Trump yang saat ini telah terpilih sebagai presiden Amerika ditembak saat melakukan pidato kampanye di salah satu negara bagiannya, Pennsylvania. Fenomena ini menunjukkan betapa berbahayanya fanatisme politik, yang bisa memicu konflik bahkan di dalam lingkup keluarga sekalipun.